Dillihat dari cover dan judulnya, pasti udah ketahuan, dong, ya, novel yang mau saya “omongin” sekarang ini itu lanjutan dari novel berjudul sama yang pernah saya review juga sebelumnya disini.
Tapi saya, sih, yakin, ya,
hampir sebagian besar orang yang hobi baca novel di Indonesia pasti udah pada
paham soal novel karyanya ayah Pidi Baiq ini. Iya, nggak? Ngaku, ngakuuu!
“Dilan: Dia Adalah Dilanku Tahun
1991”, adalah lanjutan kisah cinta Milea dan Dilan di buku yang pertama, yang
judulnya hampir sama, “Dilan: Dia Adalah Dilanku Tahun 1990”.
Dulu, pas pertama kali kenal si
Dilan lewat novel yang pertama, saya langsung kesemsem sama si Dilan. And now,
setelah saya baca novel lanjutannya… OKE FIX! SAYA JATUH CINTAAAA SAMA
DILAAAAN!!!
Sekali lagi saya yakin, saya
nggak perlu jelasin panjang-panjang kenapa saya bisa jatuh cinta sama anak
nakal satu ini. Saya yakin, semua pembaca novel ini (hmm, maksud saya yang
cewek yaaa, hehe) pasti udah pada jatuh hati sama kepribadian unik si Dilan
ini.
Mulai dari caranya menarik
perhatian Milea ketika awal-awal perkenalan, caranya membuat Milea merasa
istimewa dengan segala usahanya yang sederhana tapi berbeda, caranya membuat
Milea merasa aman, caranya membuat Milea merasa tenang, sampai bahan-bahan
pembicaraannya yang selalu bisa membuat Milea tertawa.
Bahan pembicaraannya sebagian
besar nggak ada yang serius, sebagian besar juga nggak penting, tapi selalu
bisa membuat Milea senang, selalu bisa membuat Milea rindu bicara dengannya.
Sampe-sampe nih, ya, kalo boleh, saya ngiriiii banget sama si Milea itu! Karena
dia bisa melewati masa-masa itu, masa-masa kenal dengan Dilan dan merasakan
semua perhatian ajaib dari si Dilan! Saya juga mau Dilaaaaan! *mulaigila*
Nah, di buku kedua ini, sisi lain
si Dilan semakin terlihat. Sisi yang membuat saya makin respek sama dia,
sekaligus makin sayang sama dia, hehehe.
Dilan yang berani luka-luka demi
membela Milea yang ditampar oleh teman Dilan sendiri, Dilan yang rela masuk
penjara demi membalas kelompok yang sudah menyebabkan sahabatnya meninggal,
Dilan yang sayaang banget sama keluarganya, hormat banget sama Bundanya.
Serius, saya bener-bener respek sama Dilan.
Membaca novel ini, mata saya
seolah dibuka, bahwa nggak selamanya orang yang terlihat nakal itu beneran
nakal. Nggak semua anak geng motor punya tabiat buruk, suka merusak, menindas.
Enggak. Setidaknya, nggak semua.
Dilan hanya akan melawan kalau
harga dirinya dilecehkan. Dilan cuma bakal bertindak kalau orang-orang yang
disayanginya diganggu.
Seperti yang selalu dia bilang ke
Milea,
“Milea, jangan pernah bilang ke
aku ada yang menyakitimu. Nanti, besoknya, orang itu akan hilang.”
Hah, I do really really want you
Dilan!
Hal lain yang saya sukaaa banget
di novel kedua ini adalah tokoh si Bunda. Bundanya Dilan. Calon mertua impian
banget, hehe.
Bundanya si Dilan ini, tuh, open
minded banget. Supel. Ruamaaah. Keren pokoknya.
Saya sukaaa banget caranya
mendidik keluarganya sehingga isi orang-orang dirumahnya hampir semua punya
kepribadian yang menyenangkan. Nggak kaku. Nggak kolot.
Cara si Bunda komunikasi dengan
semua orang, apalagi ke Milea, bener-bener menyenangkan. Seru, rame, bisa bikin
Milea merasa seperti ngomong sama ibu sendiri, bikin Milea rindu terus.
Lagi-lagi, saya mauuu banget sama Dilan, biar jadi menantunya si Bunda! Heheh.
Salah satu bagian yang paling
greget adalah ketika si Bunda sedang menghadapi ibunya Anhar di kantin sekolah
setelah penerimaan rapor. Si Bunda nggak suka ibunya si Anhar mojokin Milea
karena dianggap sebagai penyebab Anhar dikeluarkan dari sekolah. Bunda membela
Milea sama seperti Dilan membela Milea. Nggak kenal ampun. Ibunya si Anhar
sampai keder sendiri digalakin si Bunda. Hahaha. I love you. Bundaaa!
Saya bisa merasakan perbedaan
emosi ketika membaca dua novel si ayah Pidi baiq ini. Di novel pertama, yang
ada cuma ketawa nggak habis-habis, senyum-senyum iri lihat semua perhatian unik
si Dilan ke Milea, sampai say abaca berulang-ulang kali dan rasanya tetap saja
membuat senang.
Nah, di buku kedua ini, emosi
yang saya rasakan berbeda sekali.
Mungkin untuk beberapa puluh
halaman awal masih oke lah, saya masih senyum-senyum.
Pas mulai bagian-bagian tengah,
ketika Dilan masuk penjara dan Milea merasa kehilangan, emosi saya mulai naik.
Apalagi ketika Dilan keluar dari penjara (yang pas Dilan dipenjara pertama
kali) dan langsung kerumah Milea naik angkot, terus dirumah Milea kebetulan
lagi ada Yugo (yang berusaha mendekati Milea). Kebetulan malam itu ada Ayah dan
Ibu Milea juga di ruang tamu. Disana emosi Milea memuncak, dia bilang ke semua
orang kalau Dilan adalah pacarnya. Sambil nangis Milea bilang,
“Dia
pelindungku. Dia luka.. karena membela aku! Dilan rela dipecat karena membela
aku!”
Beneran, deh, baca bagian ini,
saya langsung mendung. Apalagi si Dilan yang waktu itu baru keluar dari
penjara, cuma bisa nunduk. Dilan merasa nggak berhasil jadi pacar yang baik
buat Milea.
Demi Tuhan, Dilan, kamu salah!
Kamu sudah melakukan hal-hal yang membuat Milea makin respek sama kamu!
Di bagian-bagian akhir, saya
bener-bener makin emosional. Nggak lagi sekedar mendung. Saya nangis! Saya
nangis ketika harus membaca bagian tentang Dilan dan Milea akhirnya putus. Saya
nangis membaca bagian ketika mereka bertemu lagi bertahun-tahun kemudian dalam
keadaan masing-masing sudah punya pacar tapi masih memiliki rasa rindu yang
sama. Tangis saya makin menjadi ketika saya membaca bagian ini,
“….Ayah
dipindahkan lagi tugasnya ke Jakarta. Setahun setelah itu, rumahku yang di
jalan Banteng, Bandung, dijual. Aku sangat sedih sekali, terutama karena aku
tahu itu adalah rumah yang penuh kenangan dengan Dilan.
Sebelum
pindah, aku bereskan barang-barangku. Seperti mau menangis rasanya dan begitu
emosional ketika aku mulai memasukkan surat-surat dari Dilan ke dalam tasku.
Serta merta kenangan datang kepadaku. Semuanya, pikiran dan perasaanku,
berputar-putar di dalam kepalaku.
Aku
menangis untuk setiap hal yang pernah aku dapatkan dengan Dilan. Terkenang lagi
saat-saat awal berkenalan dengannya, terkenang lagi saat-saat aku selalu
memeluknya di atas motor, terkenang lagi saat-saat aku ketawa setiap
bercakap-cakap dengannya, terkenang lagi saat-saat aku suka berbisik di
telinganya untung menyampaikan kata-kata manis, terkenang lagi saat-saat aku
menyuruhnya ngerjain PRku, terkenang lagi semuanya…”
Dan juga bagian ini,
“…..Ketika
mobil melewati Jalan Buah Batu aku seperti bisa melihat Dilan sedang naik motor
CB dengan diriku yang memeluk di belakangnya, menembus hujan, dan ketawa
terbahak-bahak. Aku juga seperti bisa mendengar suara Dilan memanggil namaku,
tapi setelah itu hanya terdengar suara deru mobil dan perasaanku yang sunyi…”
“Selamat
tinggal, Bandung. Selamat tinggal, Dilan. Selamat tinggal, Bunda. Selamat
tinggal Disa, Piyan, Wati. Terima kasih!”
Saya butuh beberapa menit agak
lama setelah habis membaca novel ini untuk berhenti nangis. Bahkan mungkin agak
lama. Karena bahkan sampai sekarang, saya masih emosional ketika membaca bagian
ini.
Rasanya saya tahu gimana perasaan
Milea. Ninggalin rumah dan kota dimana kenangan indah numpuk banget disana. Nggak
tahu kapan lagi bisa ketemu.
Bahkan ketika nulis ini, saya
mulai jadi mendung, makanya bahasanya melankolis begini, hehehe. Maapkeun yaa J
Oh ya, denger-denger kabar
burung, sih, ayah Pidi Baiq bakal bikin novel ini versi Dilannya, loh! Jadi,
nanti dibalik. Kalo novel yang sekarang kan ceritanya dari sisi Milea, nah
nanti dari sisi Dilannya. Aaaaah Ayaaaah aku mau baca bangeeet! Kutunggu,
Yaaaah, kutungguuu!
mbak jatuh cinta sama dilaaan? samaaaaa
ReplyDeleteaduh kita saingan nih mbak kalo gitu, hihi. btw sudah baca yang versi dilannya belum mbak?
DeleteMba d novel yg ke 3 ny. Lebih nyelekit lg d tenggorokan. Nahan tangis tp ga brasa pipi udh basah aja ... sedih bgt. Klo istilah drama ny tragis bgt mereka berdua. Kasiiaaan.... ko bisa gtu yah.. wallahu 'a lam
ReplyDelete