Review Novel : For Better Or Worse (Christina Juzwar)


Membaca For Better Or Worse di bagian-bagian awal rasanya seperti membaca kisah rumah tangga impian saya sendiri. 

Keluarga kecil bahagia, harmonis, dengan suami mapan, rumah nyaman, sepasang anak yang lucu-lucu, benar-benar persis seperti yang saya mimpikan (ehtolong, kayaknya semua perempuan juga mau yang kayak gitu), hehe.

Saya bener-bener terbuai ketika membaca kisah awal novel ini. Kehidupan keluarga Martin - July beserta dua anak mereka, Ernest dan Emilia, sungguh seperti yang saya cita-citakan. 

Pagi-pagi rumah pasti ramai dan July pasti sibuk dengan morning chaos yang menyenangkan; membujuk anak sulung yang ngambek karena kaos kaki kesayangannya dicuci padahal dia mau pakai ke sekolah, kejar-kejaran sama si bungsu yang susahnya minta ampun diajak mandi, dan terakhir, mendapat kecupan mesra dari suami sebelum berangkat ke kantor. 

Aaaaaah, what a perfect life! 

Sebagai seorang full mommy, July benar-benar bikin saya nggak bisa nggak senyum baca kisahnya. Hubungannya dan caranya berkomunikasi dengan sepasang anaknya yang lucu-lucu itu bikin saya takjub.

Lembut, selalu berusaha dan bisa menahan diri untuk tidak bersuara keras kepada mereka, tapi tetap tegas ketika diperlukan. 

Tahu bahwa karakter Ernest dan Emili berbeda dan paham bagaimana menghadapi mereka dengan masing-masing keunikannya...

Bahkan July juga berusaha hati-hati memancing Ernest untuk menceritakan masalahnya ketika July sadar anak sulungnya itu sedang bete. 

Oh Tuhaaaan... ituu... cita-cita sayaaa!

Jadi ibu sebaik, selemah lembut, dan sesabar July ituuuu cita-cita sayaaa!

Dan *ehm* jadi istri dari pria sebaik Martin juga *ehm* cita-cita saya :P

(oke, oke cukup sudah bapernya)

Tapi kemudian, roda berputar, pemirsa.

Rumah tangga manis nan harmonis itu mulai retak ketika suatu hari, Martin di-PHK karena perusahaan tempatnya bekerja mulai bangkrut.

Nggak langsung retak gitu, sih. 

Awalnya Martin dan July sudah berjanji untuk berjuang bersama. Martin berusaha menguatkan istrinya bahwa dia akan segera mendapat pekerjaan baru dan keluarga mereka akan baik-baik saja.

Tapi sayangnya, nasib baik belum mau mampir. 

Martin masih juga belum dapat pekerjaan setelah beberapa bulan menganggur (naaah, soal susah cari kerja ini bikin saya mulai baper lagi, nih).

Dan sayangnya lagi, Martin kelihatan mulai menyerah. Dia mulai jarang mencari lowongan pekerjaan, jadi lebih sering dirumah nonton tivi, dan jadi lebih sering main game online. 

Lambat laun sikapnya pun berubah.

Jadi cuek, nggak peduli, dan dingin, bahkan pada kedua anaknya yang selama ini tidak pernah ditolaknya.

Sampai bagian sini, lagi-lahi saya baper (hey, kira-kira udah berapa kali ya saya pakai kata "baper" di postingan ini? Uuuh, pengaruh sosial media, nih, hehe).

Martin yang berubah dingin itu membuat July makin frustasi, apalagi anak sulungnya, si Ernest, ternyata sudah mengerti ada yang tidak beres dengan keluarga kecil mereka. July berusaha sekuat-kuatnya untuk nggak nunjukin sedihnya di depan anak-anaknya, jadi nangis sendirian gitu. Soooo meee T.T


Membaca bab demi bab novel ini bikin saya penasaran dan pingin baca terus (seperti biasa kalo udah nemu cerita yang nancep di hati). Sepanjang baca jujur saya jadi baper banget. BANGET. Saya seolah bisa ngerasain apa yang dirasakan July sebagai istri yang nggak kenal lagi suaminya. Sedih-sedihnya, atau pas romantis-romantisnya.

Bagian yang paling saya suka adalah ketika July sudah kehilangan kepercayaannya pada si Martin. Dia pergi kerumah kakaknya membawa Ernest dan Emili. Menginap, tanpa tahu sampai kapan. Istilah kampungnya : Minggat dari Martin yang sibk dengan dunianya sendiri.

Hal itu jadi semacam titik baik hubungan mereka.

Kepergian July dan anak-anaknya membuat Martin menyesali perbuatannya. Dan dia berusaha merebut kembali hat July yang susaaaaah sekali memaafkannya.

Di bagian ini, Martin digambarkan sangat menyesali perbuatannya. 

Dari caranya berusaha menjelaskan ke July, mendatangi mereka setiap hari, berusaha memperbaiki hubungannya dengan Ernest dan Emili... Semua usaha yang dilakukan Martin nggak cuma membuat July terenyuh, tapi saya jugaaaa... sooo gentle!

Hehe.

Selesai membaca novel ini saya sadar, saya harus merawat novel ini baik-baik.

Buat apa?

Buat mengingatkan saya tentang cita-cita saya menjadi ibu sekaligus surga untuk anak-anak dan suami saya nanti.

Buat buku panduan saya ketika saya sudah berkeluarga nanti.

Aamiin. Aamiinkan juga dong, hehe.





Quote I love the most:
"Trust me, Babe. Awan hitam nggak selalu diam di tempat. Semua akan segera berlalu."
(Diucapkan oleh Martin untuk July pada halaman 340). 

0 write your opinion here:

Post a Comment

 

FOLLOW ME ON TWITTER TOO!

BE FRIENDS ON FACEBOOK!